Kiai Haji Noer Alie (lahir di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 1914; meninggal di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 1992) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Jawa Barat dan juga seorang ulama.
Ia adalah putera dari Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Ia
mendapatkan pendidika agama dari beberapa guru agama di sekitar Bekasi.
Pada tahun 1934, ia menunaikan ibadahMekkah
dan selama 6 tahun bermukim disana.Siapa yang tak kenal puisi
Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar? Tapi adakah yang tahu mengapa ia
menciptakan puisi yang melegenda itu? Mungkin tak banyak yang menduga
jika Chairil terinpsirasi oleh seorang warga Bekasi asli bernama KH Noer
Alie. haji dan memperdalam ilmu agama di
Hingga kini, nama KH Noer Alie memang belum dikenal luas di pentas
nasional. Bahkan, di kalangan masyarakat Bekasi pun, masih ada yang
belum mengenalnya. Namun, jika ia bisa menginspirasi seorang Chairil
Anwar, pasti ada suatu keistimewaan yang dimilikinya.
Ya, KH Noer Alie memiliki jejak perjuangan yang tak kelah heroiknya
dengan pahlawan nasional lain semisal Soekarno, Hatta, Agus Salim,
Natsir dan lainnya. Tercatat, dari sekian banyak pertempuran antara KH
Noer Alie dan masyarakat Bekasi dengan penjajah, ada dua perlawanan yang
melegenda.
Pertama, Pertempuran Sasak Kapuk. Pertempuran sengit itu meletus pada
29 November 1945, antara pasukan KH Noer Alie dengan Sekutu – Inggris
di Pondok Ungu. Pasukan rakyat KH Noer Alie mendesak pasukan Sekutu
dengan serangan mendadak. Melihat pasukan Sekutu terdesak, mulai timbul
rasa takabur pada pasukannya, sehingga ketika pasukan Sekutu mulai
berbalik setelah sekitar satu jam terdesak, pasukan rakyat berbalik
terdesak sampai jembatan Sasak Kapuk, Pondok Ungu, Bekasi.
Melihat kondisi pasukannya yang kocar-kacir, KH Noer Alie
memerintahkan untuk mundur. Tapi, sebagian pasukannya masih tetap
bertahan, sehingga sekitar tiga puluh orang pasukan Laskar Rakyat gugur
dalam pertempuran tersebut.
Kedua, Peristiwa Rawa Gede. Untuk menunjukkan bahwa pertahanan
Indonesia masih eksis, KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama
masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede, dan Karawang, untuk membuat
bendera merah – putih ukuran kecil terbuat dari kertas.
Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah
penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa di tengah –
tengah kekuasaan Belanda, masih ada pasukan Indonesia yang terus
melakukan perlawanan.
Aksi heroik tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira
pemasangan bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI. Belanda
langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo. Karena tidak ditemukan, mereka
marah dan membantai sekitar 400 orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu,
di satu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para
para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa di sekitar Karawang,
Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan
citra Belanda kian terpuruk, karena telah melakukan pembunuhan keji
terhadap penduduk yang tidak bedosa.
Siapa sebenarnya KH Noer Alie?
Ia lahir di Desa Ujung Malang, Babelan, Bekasi pada 15 Juli 1914.
Noer Alie adalah anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan Anwar bin
Layu dan Maimunah binti Tarbin. Tanda-tanda kepahlawanannya sudah
terlihat sejak kecil. Suatu saat, ia pernah ditanya, apa cita-citanya di
dunia. “Ingin membangun perkampungan surga,” jawab Noer Alie kecil.
Ia memiliki semangat belajar yang tinggi. Di usianya yang masih di
bawah lima tahun, ia telah mampu menghapal surat –surat pendek dalam
Al-Qur’an yang diajarkan oleh kedua orangtua dan kakaknya. Pada usia
tujuh tahun, Noer Alie mengaji pada guru Maksum di kampung Ujung Malang
Bulak. Pelajaran yang diberikan oleh gurunya lebih dititikberakan pada
pengenalan dan mengeja huruf Arab, menyimak, menghafal dan membaca
Juz-amma serta menghafal dasar – dasar Rukun Islam, Rukun Iman, tarikh
para nabi, akhlak dan fikih.
Dua tahun kemudian, Noer Alie kecil mendapat guru baru bernama
Mughni, masih di Ujung Malang. Ia mendapatkan pelajaran-pelajaran alfiah
atau tata bahasa Arab, Al-Qur’an, tajwid, nahwu, tauhid dan fiqih.
Saat beranjak remaja, Noer Alie pindah ke Klender. Ia mondok di
sebuah pesantren dan menuntut ilmu pada guru Marzuki. Noer Alie remaja
mempelajari kitab kuning (kitab Islam Klasik ) sebagai inti pendidikan.
Di samping itu, ia juga belajar cara menunggang kuda dan berburu bajing,
hewan pemakan buah kelapa yang dianggap sebagai hama.
Ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke Mekkah. Di sana, ia menuntut
ilmu di Madrasah Darul Ulum. Semangat belajarnya yang tinggi membuat ia
berguru pada beberapa ulama di lingkungan Masjidil Haram, antara lain
pada Syeikh Alie Al-Maliki (hadits); Syeikh Umar Hamdan (kutubusittah:
hadits yang diriwayatkan oleh enam perawi: Buchori, Tarmizi, Abu Daud,
Nasa’i dan Ibnu Majah ); Syeikh Ahmad Fatoni (fikih, dengan kitab Iqna
sebagai acuan); Syeikh Mohamad Amin al-Quthbi (ilmu nahwu, qawati/sastra
), badi’/mengarang, tauhid dan mantiq/ ilmu logika yang mengandung
filsafah Yunani, dengan kitab Asmuni sebagai acuan); Syeikh Abdul Zalil
(ilmu politik); Syeikh Umar Atturki dan Syeikh Ibnu Arabi (hadits dan
ulumul Qur’an).
Selama di negeri orang, ia aktif berorganisasi. Salah satunya, dengan
menjadi anggota pelajar Islam dari Jepang, sebagai Ketua Persatuan
Pelajar Betawi (PBB), dan aktif di Perhimpunan Pelajar – Pelajar
Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo) dan Perhimpunan
Pelajar Indonesai Melayu (Perindom).
Noer Alie muda memutuskan kembali ke Tanah Air pada 1939 setelah
mendapat kabar negerinya ditindas kaum penjajah. Sebuah pesan penting
disampaikan Syeikh Alie Al – Maliki padanya. “ Ingat, jika bekerja
jangan jadi penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya
akan ridho dunia akhirat.” Pesan itu terus terngiang di benaknya hingga
tiba di Indonesia.
Ulama Pejuang
Setibanya di Tanah Air, Noer Alie membuat gebrakan dengan mendirikan
madrasah. Suami Siti Rahmah binti Mughni itu lalu menghimpun kekuatan
umat, di antaranya membangun jalan tembus Ujung Malang – Teluk Pucung
pada 1941.
Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu – waktu bangsa Indonesia harus
bertempur secara fisik, Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho
(pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung.
Salah seorang santrinya, Marzuki Alam, dipersilakan mengikuti latihan
kemiliteran Pembela Tanah Air (Peta).
Saat Rapat Ikada digelar pada pada 19 September 1945 di Monas, Noer
Alie datang dengan mengendarai delman. Nama Noer Alie kian dikenal di
kalangan pejuang saat Bung Tomo meneriakkan namanya beberapa kali dalam
siaran radionya di Surabaya, Jawa Timur.
Pada bulan November 1945, KH Noer Alie membentuk Laskar Rakyat.
Seluruh badal (pasukan) dan santrinya diperintahkan menghentikan proses
belajar-mengajar untuk mendukung perjuangan. Ia kemudian mengeluarkan
fatwa: “Wajib hukumnya berjuang melawan penjajah.” Dalam waktu singkat,
Laskar Rakyat berhasil menghimpun sekitar 200 orang yang merupakan
gabungan para santri dan pemuda sekitar Babelan, Tarumajaya, Cilincing,
Muaragembong. Mereka dilatih mental oleh KH Noer Alie dan secara fisik
dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
Bekasi dan Jatinegara.
Akhir 1945, dibentuk kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada
partai politik. Saat itu, Abu GhozAlie sebagai komandan resimen
Hizbullah Bekasi (badan pejuangan Partai Majelis Sjuro Muslimin
Indonesia/ Masjumi) menunjuk KH Noer Alie sebagai komandan Batalyon III
Hizbullah Bekasi.
Setelah Agresi Militer Pertama Belanda pada 1947, KH Noerl Alie
mengadakan musyawarah darurat di Karawang. Itu dilakukan karena ia tidak
rela melihat negerinya terus dijajah. Hasil musyawarah itu memutuskan
untuk mengirim KH Noer Alie bersama lima orang rekannya menemui Panglima
Besar Jenderal Soedirman di Jogjakarta.
Sesampai di Jogjakarta, rombongan KH Noer Alie diterima oleh Letnan
Jenderal Oerip Soemohadjo karena Jenderal Soedirman tidak berada di
tempat. KH Noer Alie diminta untuk melakukan perlawanan secara
bergerilya. Ia kemudian mendirikan Hizbullah - Sabilillah pusat dengan
nama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah ( MPHS ) yang diketuai langsung
oleh dirinya.
Pada 10 Januari 1948, Mohammad Moe’min, Wakil Residen Jakarta dari
pihak Republik Indonesia, mengangkat KH Noer Alie sebagai Koordinator
(Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara. Namun jabatan pemerintahan yang
seharusnya dimulai pada 15 Januari 1948 tidak berlangsung lama, karena
pada 17 Januari 1948 terjadi Perjanjian Renville yang mengharuskan
tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. KH
Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 orang pasukan dari
Kompi Syukur.
Ketika perlawanan bersenjata mulai mereda, pada 1949 KH Noer Alie
memilih berjuang di lapangan sipil. Ia diminta membantu Muhammad Natsir
sebagai anggota delegasi Republik Indonesia Serikat di Indonesia dalam
konperensi Indonesia – Belanda.
Dalam kesempatan tersebut, KH Noer Alie sempat membahas kelanjutan
perjuangan dengan tokoh – tokoh nasional di Jakarta, seperti Muhammad
Natsir, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Muhammad Roem, Muhammad Syafe;I dan KH
Rojiun, dan kemudian ia diminta untuk menyalurkan aspirasi polotiknya,
bergabung dalam partai Masjumi.
Pada Januari 1950, KH Noer Alie bersama teman – teman dan anak
buahnya, seperti R. Supardi, Madnuin Hasibuan, Namin, Taminudin, Marzuki
Hidayat, Marzuki Urmani, Nurhasan Ibnuhajar, A. Sirad, Hasan Syahroni
dan Masturo membentuk Panitia Amanat Rakyat. Pada 17 Januari 1950,
Panitia Amanat Rakyat itu kemudian menghimpun sekitar 25.000 rakyat
Bekasi dan Cikarang di Alun – Alun Bekasi. Mereka mendeklarasikan
resolusi yang menyatakan penyerahan kekuasaan pemerintah Federal kepada
Republik Indonesia. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dan KH Noer Alie bersama Lukas Kustaryo menuntut agar nama kabupaten
Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Tuntutan tersebut diterima
oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir, sehingga pada 15 Agustus 1950
terbentuklah Kabupaten Bekasi di Jatinegara, serta selanjutnya
dimasukkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.
Ulama Kharismatik
KH Noer Alie dikenal dengan sebutan “Engkong Kiai.” Jika ia berjalan,
tidak ada seorang pun, baik pejalan kaki atau pun yang memakai
kendaraan, yang berani mendahuluinya. Mereka lebih cenderung untuk
memilih jalan lain atau melompati got sebagai jalan pintas apabila
terpaksa harus mendahului Engkong Kiai.
Pada zamannya, tidak ada akses jalan yang rusak di sekitar desa,
karena apabila terjadi kerusakan jalan dan diketahui oleh KH Noer Alie,
aparat pemerintah akan langsung buru – buru memperbaikinya, mengingat
besarnya jasa beliau terhadap pembangunan, terutama di wilayah Bekasi.
Salah satu karya fenomenal yang berhasil diwujudkan oleh KH Noer Alie
adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar – besaran di
sekitar Desa Ujungharapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.
Semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan tanahnya jika
yang meminta KH Noer Alie. Ia pun tak segan untuk turun langsung
bergotong-royong bersama warga membangun jalan seperti saat pelebaran
Gang Perintis pada 1980.
Jasa-jasanya itulah yang akhirnya membuat ia dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional dan bintang Maha Putra Adipradana oleh pemerintah
Republik Indonesia pada 2006. Penghargaan lainnya adalah dengan
menjadikan nama “Singa Karawang-Bekasi” itu sebagai nama jalan di
sepanjang Kalimalang menuju Jakarta.
KIAI HAJI NOER ALIE (Alm) TOKOH PEJUANG DARI BEKASI JAWA BARAT
Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana Pada tanggal 3
November 2006, atas nama Presiden RI (Kepres RI No. 085/TK/Tahun
2006)menganugerahkan gelar `Pahlawan Nasional` dan `Bintang Mahaputera
Adipradana` kepada Alm. Kiai Haji Noer Alie tokoh pejuang dari Bekasi
Jawa Barat, atas jasa-jasanya. • � Pada tahun 1937 bersama Hasan Basri
membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi dimana KH. Noer Alie
sebagai ketuanya. • � Tahun 1945 KH. Noer Alie membentuk Laskar Rakyat
bekerja sama dengan TKR Bekasi dan Jatinegara untuk memobilisasi pemuda
dan santri ikut latihan kemiliteran di Teluk Pucung-Bekasi. • � Setelah
Agresi Militer I Belanda, KH. Noer Alie mendirikan organisasi gerilya
baru dengan nama Markas Pusat Hizbullah Sabulillah (MPHS) di Tanjung
Karekok Cikampek. • � Pada tahun 1955, Masyumi Bekasi memperoleh suara
terbanyak dalam Pemilu dimana beliau sebagai Ketua Cabang Masyumi Bekasi
oleh Masyumi Pusat sebagai salah seorang anggota Dewan Konstituante
pada bulan Desember 1956.
[[KH. Noer Ali, Putra Betawi yang Menjadi Pahlawan Nasional
“Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali“. ya
itu adalah ungkapan yang sering saya dengar dari para orang tua dulu.
Sosok beliau sangat terkenal dimata orang bekasi karena ia menjadi ikon
kebanggaan masyarakat betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa
revolusi. Beliau terkenal dengan sebutan “Singa Karawang Bekasi” atau
ada juga yang menyebutnya “si Belut Putih”.Saya memang tidak banyak tau
tentang sejarah beliau. Saya hanya dapat kisahnya dari para orang tua.
Beliau adalah seorang ulama dan pemimpin pada zaman revolusi. Kembali ke
KH. Noer Ali, selain berjuang melawan penjajah beliau juga memiliki
pesantren At- Taqwa yang berpusat di Kampung Ujung Harapan (dulu bernama
Ujung malang) . Kini pesantren tersebut sudah memiliki lebih dari 50
Cabang. Dan saya adalah orang yang termasuk salah satu santri
dicabangnya (At- Taqwa VIII). Cerita perjuangan beliau begitu banyak
yang saya dapatkan baik dari para orang tua maupun guru (ceritanya
seperti film-film kolosal ^_^). Ia selalu bisa lolos/menghilang ketika
ditangkap belanda (mungkin karena itu kali ya dia berjuluk si belut
putih), meriam-meriam belanda yang tidak bisa meledak, murid-muridnya
yang kebal peluru karena amalan wirid dan ratibnya, dll. Beliau juga
sangat terkenal di mata masyarakat non muslim karena sikap tolerannya,
hal itu dibuktikan ketika beliau sangat melindungi masyarakat tiong hoa
yang non Muslim dari penjajah Belanda. Alhamdulillah pada 9 November
2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha
Putra Adipradana. Berikut sekilas dari biografinya
KH. Noer Ali “Singa Karawang-Bekasi” Sebagaimana biografi yang
ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir tahun 1914 di Kp. Ujungmalang
(sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester
Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu,
seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin. Meskipun
ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut
ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya
yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun
(1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah. Saat di Mekah, semangat
kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang
mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia.
Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”. Noer
Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari
Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat
teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di
Ujungmalang. Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September
1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer
Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia
menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan
Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya
dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga
selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya muncul
ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap
Jenderal Oerip Soemohardjo
di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan
tidak menggunakan nama TNI. K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat
jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat
Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda
menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat
Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak
ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera
itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya.
Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas
Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan
karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat
Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini
membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung
dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang melintang
antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain,
menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali
digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai
“Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang memiliki
karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak
buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak
buahnya ini tidak taat. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H.
Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi
Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta
atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di
Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang. Saat
akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama
pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian
Roem-Royen. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang
Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu
delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk
melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika
pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan.
Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh
A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu.
Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan
melalui pendidikan maupun melalui jalur politik. Pemikiran Noer Ali
untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak
ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang
lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di
Jakarta. Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di
Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di
berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar
Jawa. Di lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara
RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat
Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat
sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Tahun 1956, ia diangkat menjadi
anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan
Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus
Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang
kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat. Tahun 1971-1975
menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua
Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam
perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai pendamai, tidak pro satu
aliran. Dengan para kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap
baik.*** - Prof. Dr. Nina H. Lubis, M.S. adalah Guru Besar Ilmu Sejarah
Fak. Sastra Unpad/Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Penelitian Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat.
2 komentar:
Alfatehah
r. supardi nya ga ada ya😢
Posting Komentar